Page 12 - BUKU_Nurtati Soewarno dkk
P. 12
dalam pembuatan Kelenteng. Tan Hap Hay kemudian menamai
Kelenteng ini Shend Di Miao, yang berarti Istana Para Dewa. Nama ini
diambil karena Kelenteng ini digunakan sebagai tempat ibadah
bersama oleh masyarakat Tionghoa dari berbagai tempat dengan
kepercayaanya yang berbeda-beda.
Pada tahun 1917 seiring dengan dilakukannya renovasi, nama
Shend Di Miao dirubah menjadi Xie Tian Gong atau Hiap Thian Kong.
Nama tersebut diambil dari Dewa Utama (tuan rumah) Kelenteng ini,
yakni Guan Gong (Koan Kong). Nama kecil beliau adalah Guan Yu
alias Yunchang (In Thiang), seorang tokoh sejarah pahlawan yang
pernah hidup di Tiongkok periode Tiga Negara.
Pada tahun 1967 penggunaan nama Tionghoa di Indonesia
dilarang karena adanya kebijakan pemerintah No.14 tahun 1967
tentang pelanggaran adat budaya asli Tiongkok sehingga namanya
diubah menjadi Vihara Satya Budhi. Namun pada tahun 2000 di bawah
kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, Inpres No.14 tahun 1967
dihapus dan diganti dengan Keppres No. 6 Tahun 2000 Tentang
agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Hingga saat ini Kelenteng
Satya Budhi digunakan oleh keturunan Tiongkok (Cina) untuk tempat
peribadatan yang melaksanakan ajaran Tri Dharma dan menjadi
tempat Ibadah untuk tiga agama yaitu : Tao, Konghucu, dan Buddha.
Pada tahun 2019, Kelenteng Satya Budhi mengalami bencana
kebakaran yang mengakibatkan setengah dari bangunan utama
hangus terbakar, hal ini disebabkan karena lilin yang berada di area
penyimpanan lilin (Huyogo, 2019). Kebakaran ini merugikan dalam hal
sejarah bangunan Kelenteng yang sudah berdiri dari tahun 1855.
Setelah bencana kebakaran terjadi banguan utama Kelenteng
mengalami Renovasi tetapi terbilang cukup lama dikarenakan dalam
3

